Aku menekuri ujung sepatu yang kupakai. Sialnya, sepatu ini kembali melempar ingatanku pada wajah gadis itu. Katanya, dulu, ia paling senang melihatku memakai sepatu ini. Perutku mual, aku mengalihkan pandanganku menuju hamparan parkiran pesawat terbang di sisi seberang jendela kaca yang tebal. Hujan jatuh satu-satu menepuk landasan yang berkilau. Aku membuang napas perlahan, mencoba menyusun kembali pikiran waras yang belakangan entah hilang ke mana.
Kulirik jam yang melingkar di tanganku. Seharusnya, sejak sejam yang lalu pesawat yang kutumpangi sudah berangkat. Sialnya, entah kenapa, pesawat dengan logo singa merah itu benar-benar sepakat untuk membuatku semakin jengkel hari ini. Melalui pengeras suara, seorang perempuan mengumumkan bahwa pesawat yang kutumpangi harus diundur jadwalnya sekitar tiga jam karena kesalahan teknis. Suara mendayu yang ia kumandangkan, beserta sebotol air mineral dan roti manis yang disuguhkan oleh pegawai maskapai sebagai permintaan maaf, tidak sungguh-sungguh membuatku tenang. Aku semakin mual. Kupijat sisi kiri dan kanan pelipisku. Sambil memejamkan mata, bayangan perempuan itu semakin utuh menggantung di ingatanku.
***








