Monday, April 6, 2015

Untukmu, Shalihah



Amma...
menyemai usia duapuluhdua dirimu kini
banyak doa yang bertebaran di langit-langit kamar saya
di luar masih hujan
mengetuk-ngetuk jendela
setiap bulirnya
ada doa yang melangit
membuncah dari bibir

Amma...
berbilang tahun saya mengenalmu
kamu
menjadi satu dari sekian hadiah yang Dia berikan buat saya
kemudian
banyak semoga yang melesat buatmu
semoga
semoga
semoga
semoga

kebaikan menyertai setiap hentak langkahmu
berkah menyemai di setiap ucap lisanmu
bahagia memancar dari setiap tatap irismu
syukur mengalir dari setiap perolehanmu

semoga pula
ini bukan bilangan usia terakhir milikmu, dimana saya menjadi saudaramu
iya, kan?

semoga pula
kamu semakin keren


Teruntuk saudariku tercinta, Rahma Afnan, tetaplah bertumbuh menjadi gadis yang menyenangkan.


Sunday, April 5, 2015

Aku(t)



Namanya Nurul
gadis empatbelas tahun
wajahnya kebas merah, seperti cemas
cemas menanti seseorang di perempatan jalan
sebentar-sebentar, dia mengusap wajahnya dengan selembar tisu
lalu menoleh berulang-ulang pada jam tangannya yang melingkar
kepalanya dipenuhi tanya
kapan?
akankah dia datang?
bukankah kemarin dia sudah berjanji untuk bertemu sore ini?
lalu bersama-sama pergi menyaksikan pertandingan voli di lapangan kampung sebelah
kemudian mengapa dia belum jua datang?
dua jam berlalu
kakinya mulai keram
hatinya perih
tersayat
matanya mulai panas membendung air
kemudian dia berbalik
memutuskan menghapus ingatan tentangnya
lalu menelan bulat-bulat sesak sakit yang dia rasakan
kembali pulang

Tantangan permainan frasa dari Dik Yuyung.

Kotak Aj(aib)

Tv hitam putih berkedap-kedap lemah di ruangan tengah
bapak sedang sibuk menyetel parabola
aku duduk berselonjor malas
duh, apa guna menyaksikan berita yang hanya mencekoki kita dengan ajaran pluralitas yang menikung jauh dari nilai moral?
aku membuang pandangan
menjatuhkan tatapanku pada buku yang kugenggam
kalau kata mamak
menyaksikan acara tv sekarang ini efeknya membuat kepala buntu
sama ketika kau berlebihan mengonsumsi masako dalam masakan
hasilnya persis, kan?
sama-sama membunuh secara perlahan
membuat intelektual kerdil
akibatnya berantai, mengular sampai batas entah


Tantangan permainan frasa dari Dik Tari


.

Surau dan Kenangan yang Membeku di Dalamnya




Kamu ingat maulid tujuh tahun silam? Di pagi-pagi buta, saat kita bergegas berlomba untuk mandi di sumur belakang rumah. Bergantian disirami oleh puang aji, lalu tertawa-tawa mengulur waktu agar bisa mandi lebih lama, tapi iming-iming telur warna-warni berhasil membuat kita terbirit-birit berhasil melaju berlomba mengenakan baju terbaik di almari. Baju koko rapi dengan setelan celana kain, tak ketinggalan kopiah favorit,
 dengan wangi deterjen khas mamak.

Bersusulan menuju surau kampung. Menatap tempat sampah surau yang disesaki kertas minyak. Kemudian kita berlarian masuk. Gaduh. Diteriaki Pak Ustadz karena mengganggu barazanji yang tengah berurai. Akhirnya kita duduk bersila, takut-takut menatap sebilah bambu yang dipegang Pak Ustadz, takut dipecut kalau-kalau kita mengacau lagi. Bunyi gemericik air dari tempat wudhu surau bersusulan merdu. Kita masih berdiam sambil meringis ngeri melihat Aco yang dicambuk karena menendang ember songkolo.


Tantangan permainan frasa dari Dik Rika.

Dia



Pagi ini saya terpekur menatap dinding, kemudian mataku tertumbuk pada kalender yang menempel mesra. Ah, rupa-rupanya saya telah membuat janji dengan lelaki jangkung berkacamata tebal di taman kota senja ini. Apa katanya kemarin? Ingin ditemani membeli handuk di minimarket? Hih, apa dia tidak punya cara yang lebih baik untuk mendekati seorang gadis? Apa dia tidak belajar dari teman-temannya yang lain? Misalnya dengan memberi sekotak cokelat atau boneka pink atau apakah yang jauh lebih manis dari sekedar berkunjung ke minimarket.

Kemudian saya bangkit dari tidur, berturut-turut bercermin menatap diri. Apa istimewanya lelaki jangkung itu? Kata teman-temanku tidak ada sama sekali. Tapi hei, saya yang selalu bersikap tegar di hadapa semua, seketika bisa menjadi sendu di depannya. Apa itu berarti saya merasa nyaman saat berada di sisinya dan kemudian seketika menumpahkan tebaran resah, keluh, gundah, dan semua perasaan yang bercampur selaiknya kopi kental yang selalu kuhirup di sore yang basah.


Tantangan permainan frasa dari Dik Yaya.

Saturday, April 4, 2015

Tumbuh Tua Bersamamu

Saya sudah lama menyimpan doa ini,
apakah kamu juga?

Segara; Lautan-Lautan dengan Dermaga Aku

Sepagi ini, saya coba menenangkan pikiran
menulis tentangmu, selalu butuh keberanian besar
ah, arti namamu adalah lautan, kan?
kemudian, biarkan saya terbenam di dalamnya
tenggelam hanyut, terbawa arus
melesat jauh ke dalam
menembus relung-relungmu yang dipenuhi arus yang berlarian
lalu membangun istana kekal
bertempat di sana

Lautan;
jangankan tanpa kuminta
matamu saja seperti menyimpan gelombang
mengetuk pencarian yang lama terhenti
bak menjelma ibarat sebotol obat penenang
tepukan ombakmu yang selalu berhasil menyusupi lelapku

Jika kamu lautan; maka izinkan aku menjadi tepianmu, yang selalu menjadi tempatmu pulang.



10:00; Ombakmu.


Thursday, April 2, 2015

Kepala yang Terbenam

Malam sudah semakin menua
hujan jatuh saling bersusulan
bergantian mengecupi ubun-ubun bumi
membasahi kepala yang sejak pagi tadi memberangus kesal
ada serupa genangan kenangan yang mengair
menjalar perlahan
mengetuk kotak memori di sudut batok
dan pada akhirnya tersadar
kepala ini, ingatan ini, telah lama terbenam pada sesuatu
yang mengatas namakan diri dengan cinta
lalu lupa pada sekelumit janji yang pernah terkucur dari lisan

Hujan masih setia membenturkan raganya pada atap
menimbulkan bunyi gaduh
namun berirama kantuk
semakin lama lalu semakin tersadar
kepala yang terbenam ini harus segera diangkat dari kubangan ingatan yang menyiksa
lalu, doa kemudian merayapi malam yang pekat ditemani hujan yang semakin menderas
ada baiknya, malam ini kita jatuh kepada lelap
esok, semua akan baik-baik saja

Selaksa Doa Teruntuk Gadis Merah Jambu


"Dan, pada akhirnya kamu bakal paham, bahwa, saudara bukan berarti harus lahir dari rahim yang sama. Bahasa tawa pun terkadang, bisa menjadi semacam pengikat." --Kio--


Kaleng Surat

"Kring.."

Suara ketukan pintu dari Pak Pos membuat saya tersentak kaget. Ini surat kedua darimu, Tuan. Datang dengan sampul berwarna biru gelap dengan gambar kartun Maruko Chan kesukaan saya, hasil lukisan tanganmu sendiri. Kuperhatikan dengan seksama, amplop berwarna biru tadi pun hasil buatan tanganmu juga. Ah, ya, saya ingat, sore itu, hampir gelap, ketika garis kemerahan menyemburat di batas cakrawala, kamu berkata pada saya perlahan, sangat perlahan hingga hampir tak terdengar bersaing dengan debur ombak.

"Matamu seperti palung terdalam lautan ini. Biru pekat. Menenangkan, tapi bisa saja menenggelamkan." Kamu berucap lirih.
"Apa?" Tanyaku tanpa menatapmu.
"Matamu dalam. Menenggelamkan. Saya seperti jatuh sesak di sana, tapi sesak bahagia. Rasanya enggan ingin pulang." kamu berujar lebih keras. Saya tertawa sambil memerhatikan alis ulat bulumu, seraya menonjok pelan bahu kananmu. Kamu tahu? Sore itu adalah salah satu dari sore terbaik yang pernah saya punya.

***
Saya merobek ujung sampul surat. Ada dua lembar kertas kecokelatan terlampir di dalamnya. Tak sabar, saya segera merogoh dan membacanya. Duh, Tuan, tulisan tanganmu kenapa selalu rapi dan indah begitu, sih? Ini yang selalu membuat saya iri padamu. Saya membacanya dalam diam, sambil sesekali menyesap segelas cokelat hangat. Hari sedang hujan, dan ternyata, sepucuk surat darimu dan segelas cokelat hangat menjadi teman terbaik di tengah rinai.



Hujan; dan saya sedang merindui kamu.

Wednesday, April 1, 2015

Mengapa Begitu Jauh Mencari?; Ada Surga di Rumahmu



“Kelak, akan datang anak-anak berlari menujumu, kemudian bergantian menciumimu. Kau akan menjadi surga untuk anak-anakmu.” –Ramadhan kepada Nayla

Adegan pembuka yang berhasil membuat saya mengalihkan pandangan dari arah telepon genggam –kebiasaan yang agak buruk ketika film sudah dimulai, saya masih berasyik masyuk dengan telepon genggam--, benar-benar dari awal film ini sudah mencuri perhatian pandangan, dengar, dan juga menggetarkan hati. Adegan pembuka di mana seorang pasien yang terkulai lemas di atas kereta dorong, derap-derap kaki yang terburu-buru, dan juga alunan kalimat syahadat yang susul-menyusul. Saya terdiam, memusatkan seluruh perhatian saya ke depan, sambil menekan tombol kunci telepon genggam tanpa mengalihkan pandangan sekalipun. Film ini sepertinya akan banyak menguras air mata, dugaan awal saya

****************************************************************

Tuan Kesayangan Sepanjang Hayat

Terimakasih telah bersetia, tetap menjadi teman terbaik saya. Entah sulit, entah bahagia, terjebak dalam kebimbangan, pun saat kita (kebanyakan saya) mengeluh ini-itu.

Ingin rasanya saya nyanyikan Thinking Out Loud di telingamu, samar-samar, menyampaikan betapa melangitnya perasaan saya padamu, Tuan. :')

Juni

Aku menekuri ujung sepatu yang kupakai. Sialnya, sepatu ini kembali melempar ingatanku pada wajah gadis itu. Katanya, dulu, ia pali...