Di sini saya menggali sejuta cerita
lalu kemudian saya temukan banyak puing bahagia.
Karena rumah, adalah jalan pulang yang selalu kita tempuh. Sejauh bagaimanapun kita melangkah.
Liburan. Pantai. Gunung. Serta hiruk pikuk kota kecil.
Di sini saya menggali sejuta cerita
lalu kemudian saya temukan banyak puing bahagia.
Karena rumah, adalah jalan pulang yang selalu kita tempuh. Sejauh bagaimanapun kita melangkah.
Liburan. Pantai. Gunung. Serta hiruk pikuk kota kecil.
Kurang lebih sudah enam ratus hari saya mengenal kamu. Lipatan detik sudah jatuh menekuk jauh di bawah kaki saya. Entah, sudah berapa kenangan yang terlampaui. Sudah berapa banyak cerita yang tergerus di kaki-kaki detik. Saya, di pagi ini, takjub menatap embun yang membiaskan perkenalan kita.
Kita punya awalan yang tak tertebak. Pun mungkin akhir yang belum bisa diterka. Saya dan kamu yakin, bahwa ketika hari melahirkan berjuta kawasan subur untuk rindu, maka pastilah ia telah mengandung banyak lahan untuk pertemuan. Saya dan kamu tahu pasti, ketika rindu menggeruskan rasa sakit saat ini, pasti ia telah menyediakan obat jumpa untuk menawar segala perih.
Biarkan awan itu meletup-letup di langit
toh, pada akhirnya kita jumpa dengan nama kasih
S.A.F
Kita berlalu menapaki pematangan waktu. Menjejakkan langkah seribu menebas potongan detik. Kamu dan saya paham. Sangat paham. Akan ada badai hadir di menit-menit setelah ini. Namun, kamu dan saya yakin. Sangat yakin. Bahwa ada sesuatu yang mengatas namakan diri dengan cinta, yang mampu merobek badai-badai itu.
Kita seperti kalut. Apakah ini salah? Kamu dan saya menggeleng pasti. Ini tidak salah. Hanya sedikit ketidakbiasaan dari orang sekeliling kita. Mereka belum paham. Belum menangkap apa sesungguhnya yang sedang kita centangkan. Kamu lelah? Saya tidak. Jika kamu bertanya dengan pertanyaan yang sama, maka saya akan menggeleng kuat dan berkata tidak dengan yakinnya seyakin saat saya ditawari neraka.
Saya tahu, kita sedang waspada menanti cercah saga esok hari. Entah bagaimana sampul akhir cerita kita. Tidak ada yang bisa menebak. Namun saya akan pastikan, hanya ada dua akhir dari kisah kita; kamu tersenyum pada saya dan saya bahagia, atau saya tersenyum padamu dan kamu bahagia.
Perempuan senja yang kamu cintai
Hyuga Kio
Mengapa?
sebab senyum kita adalah kekata
tawa kita mengartikan sebab
cerita kita adalah ungkapan
kebersamaan kita menguak kisah
Lipatan waktu berbaik hati mempertemukan kita. Di detik kesekian. Kita bersahabat. Menjalin cerita bersama. Detik bergulir. Ada-ada saja cerita yang kita lukis. Bahagia iya. Sedih tentu saja ada. Marahan? Jangan tanya lagi kalau soal itu. Ah, terlalu banyak coretan yang telah kita buat.
Kekata adalah kita. Sempurna deretan abjad yang telah mencoreti lembar persaudaraan kita.
Kemudian, apa kata kau? Saya orangnya kekanak-kanakan. Haha. Memang. Saya masih labil. Jujur, saya iri padamu. Bagaimana bisa kau menyelesaikan suatu pukulan masalah dengan begitu dewasanya? Bagaimana? Saya belum bisa seperti itu. Jujur, selama ini saya belajar banyak darimu. Terlalu banyak hal-hal yang telah saya pelajari dari kau.
Terimakasih. Terimakasih telah menjadi sahabat saya hingga detik ini, dan beribu detik yang akan datang. Terimakasih karena telah menghadiahi saya persaudaraan hebat ini. Semoga Dia tak hanya berbaik hati mempertemukan kita di dunia ini, namun juga di syurgaNya kelak.
Kau adalah cinta di setiap hembusan detik
hadiah cantik di tiap lipatan doa
kita adalah persahabatan yang tak pernah usai
Dan kalian adalah pelangi setelah hujan pergi
adalah senyum saat semua kesedihan menguar
kalianlah cinta
jembatan hati kami menuju cahaya
Adik-adik yang kakak cintai, mungkin kalian tak akan pernah membaca tulisan ini. Kalian belum mengenal teknologi internet, namun, bukan suatu ketidakmasukakalan jika suatu saat tulisan ini akan sampai di penghujung mata kalian. Entah dengan cara apa dan bagaimana serta di lipatan waktu keberapa. Kakak hanya ingin mengatakan, bahwa mata kalian adalah gerusan cahaya-cahaya yang saling mengerjap. Kalian memerangkap kakak dalam sebuah kungkungan bahagia. Senyum polos kalian, tawa renyah kalian, kata-kata yang berhamburan dari mulut mungil kalian. Ah, semua seperti tatakan warna yang membiaskan aurora cantik dalam hati kakak. Sungguh, kalian memesona.
Belum lama memang kakak mengenal kalian. Seminggu kurang. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kakak jatuh sayang pada kalian. Tahu? Saat menatap mata jernih kalian, rasanya kakak ingin memutar detik agar kembali membawa kakak ke masa kanak. Sungguh, orang tua kalian, adalah segenap yang beruntung karena telah dititipi anugerah indah seperti kalian.
Maaf, maaf jika beberapa waktu berselang kakak belum bisa menjadi pengayom yang baik. Kakak mencoba, Dik. Akan terus mencoba memberi yang terbaik untuk kalian. Kakak terus belajar mendamaikan perasaan kakak yang terkadang tak menentu saat mengajar kalian. Entah itu kesal, sakit kepala dan semua perasaan yang mencoba singgah. Kakak mengerahkan sekuat semampu dan sebisa kakak agar menjadi kakak yang baik buat kalian. Bantu kakak dengan menjadi adik-adik yang baik ya, Dik? :')
Teruntuk semua volunteer ceria, terkhusus saudara saya, Khofifah, terimakasih sudah menarik saya dalam lingkaran ini. Sungguh, berharganya semua ini tak akan terlunasi dengan lembar mata uang. Rahma, Ummu, Icha dan semuanya, mari kerahkan energi terbaik kita untuk mereka, adik-adik kita.
Karena cahaya yang luruh di mata mereka
adalah lentera kita menuju jalanNya
Senja yang menua. 17.54. Ditemani secangkir air hangat.
Kakak Kio
Bagi saya kau adalah gerimis
yang menghadirkan pelangi berwarna seusai reda
yang menguarkan bebau tanah saat basah
yang melukis bias ketika deras
Kau kalungkan harapan di pucuk hidup saya
lalu kau goreskan cahaya-cahaya cinta di sana
menemaninu menebak sajak
hingga surya berganti di belahan bumi sebelah
Bagiku kau adalah embun
menggerus anggun di sela daun
menitik lembut ditemani kabut
kemudian menetes indah di tanah basah
Kau serupa nyanyian malam
mencecar sejuta panah-panah
menghujam parah di ulu perasa
lalu kau obati dengan setia
Bagiku kau adalah cinta
adalah sayang
adalah kebersamaan
adalah pendewasaan
adalah ketidakterbatasan
adalah kesetiaan
adalah ikrar janji kehidupan
untuk tetap bergandengan
21.25 saat gerimis menyapa saya
Ternyata saya menemukan lelaki yang sama seperti dua tahun sebelumnya. Lelaki pengobral gombal. Lelaki pembual. Lelaki yang membuat mual. Tulisan ini pasti kau baca. Pasti. Terimakasih.
Detik ini tepat pukul 18.42 di bagian kota yang dinamai Makassar. Kata-kata saya berloncatan sana-sini. Dari kepala. Lalu ke hati. Dan terakhir mengalir melalui jemari. Saya bergidik ngeri, entah, akhir-akhir ini saya selalu merasa bahwa kamar bukanlah menjadi teman yang baik. Kamar saya terasa sedang dirajai sepi yang terlalu mengudeta apa-apa yang seharusnya menjadi milik saya.
Deru kipas angin. Kerlap-kerlip layar telepon genggam yang tak bertamu. Ikan hias di sudut. Gantungan baju penuh warna. Rak sepatu. Lemari cokelat yang padat. Ah, lalu apa yang bisa saya lakukan bersama mereka?
Tulisan kali ini tak punya arah. Hanya sekedar memanifestasi bahwa sang empunya sedang ingin menulis. Toh, ini adalah diari pribadi yang jarang dikunjungi tamu. Alhasil, saya memilih untuk bermesraan dengan diri saya sendiri.
Kontrakan C5 ditemani rintik yang merintih. Menyiksa.
Saya sebut kau, Lelaki Bermata Ombak
kenapa?
di satu detik, mata kau menenangkan
saat detik berkayuh, tetiba mata kau serupa ombak
bergerus menepuk pasir
lalu menyisakan garukan berpola di bibir pantai
Lalu apa, Lelaki Bermata Ombak?
kau tengah mencoba menepuk pinggiran hati saya?
saya sudah saksikan kau sebelum senja meletupkan kuning saganya
bahkan saya tak katupkan kelopak saya
demi kau, Lelaki Bermata Ombak!
Sekarang, kau tengah mencoba menarik garis
membuat bujur melintang di sela hati saya
namun selamat, kau belum berhasil!
Tuan, kaki kita belum menapak di tempat yang sama
tapi kita selalu saksikan hujan yang serupa, kan?
hujan yang menari tertawa-tawa
dan gemerutuk tuturan awan
Tuan, selalu ada cerita dari detik yang kemarin
serumpun kisah yang mungkin telah tergores jauh hari sebelumnya
ah, ini bukan tentang yang kita selalu guratkan
mencari sepotong cinta lebih sulit daripada mencungkil segenggam timah
Tuan, mungkin ini belum usai
belum sepenuhnya hilang
dari buku-buku kehidupan kita
ini belum lekang dari pergeseran detik
masih menghujam di dentum dada kita
Tuan, ingin kau rajut kembali cerita itu?
siapkanlah pena dan kertas terbaik yang kau punya!
Kampus. Saat hujan merintih-rintih. Lalu kemudian cerah tanpa sisa
Kunamai rindu
karena di sana lahir bulir harapan yang menyeruak
membasuh doa dengan rapalan nama
nama-nama yang dikasihi
nama-nama yang tertundatemui
Kunamai rindu
karena di sana menyeruak lebar berbagai pinta
pinta izin dipertemukan di kaki langitNya
mengoarkan bebauan ratap
ratap agar dipertemukan oleh ibu waktu
Kunamai rindu
di sana tertoreh berjuta ingin
ingin yang menggigil
lalu jiwa yang terpanggil
Kunamai rindu
olehnya dipertemukan banyak cerita di sana
cerita tentang betapa bahagia
betapa getir
betapa pahit
betapa indah
dan berjuta betapa lainnya
Kunamai rindu
sebelum kututup ia dengan titik
berharap kita dipertemukan di sana pada kata milik
19.34. Kontrakan.
Puisi ini didedikasikan khusus untuk Kota Luwuk tertjinta. Enam tahun menetap di sana, mengajarkan saya banyak hal menyoal hidup. :')
Saya suka memerhatikan raut wajahmu, gerusan urat di wajah tua namun teduhmu, seolah bercerita tentang sejuta cerita hidup yang pernah kau lewati. Pun jemari dan lenganmu yang kokoh, seperti menjelaskan bahwa sungguh hidup ini keras. Bola matamu yang hitam serta jajaran alis matamu yang pekat dan tebal melukiskan ribuan cinta yang siap kau torehkan dalam hidup saya.
Kau sosok pendiam. Pecinta angka. Penggila sastra. Pengagum semua ilmu pengetahuan. Jujur, tiap mendengar kisah kau berjuang demi mencicipi bangku sekolah, saya menjadi malu. Malu terhadap diri saya yang terkadang bermalas-malasan di tanah rantau. Masih sering mengeluh ini itu, padahal kau sudah sekuat tenaga menyediakan segala sarana dan prasarana yang menunjang saya di sini. Ah, saya malu. Malu sekali. Malu hanya bisa mempersembahkan prestasi itu-itu saja padamu, malu hanya bisa menangis cengeng saat ada masalah. Malu. Saya malu menjadi puteri dari seorang hebat seperti kau.
Masih lekat cerita tentang kau menjadi mahasiswa sipil terbaik se-Indonesia di jamanmu. Pigura saat kening kau dikecup menteri pendidikan masih segar dipajang. Saya? Jangankan Bapak Menteri, pun rektor masih kabur soal keberadaan saya. Ah, lagi-lagi saya belum berhasil memberikan kebanggaan untuk kau.
Namun apa katamu? Saya anak terhebat. Ketika saya uraikan ini untukmu, kau kata bahwa saya sudah membanggakanmu. Kau menunjuk kepala saya sambil berkata bahwa saya anak cemerlang. Kau menunjuk dada saya lalu berujar saya anak berhati lurus. Kau tak pernah mengucap sepatah kalimatpun yang membuat saya kecewa atau sedih.
Kau orang yang cuek. Katamu, saya sakit-sakitan karena terlalu membebani suatu pikiran. Saya selalu ingin mencontoh bagaimana kau dengan begitu bijak dan tenangnya menghadapi suatu masalah dan voila! masalah seketika selesai. Saya takjub. Mama benar-benar beruntung mendapatkan lelaki sehebat kau.
Tak pernah kau berkata kasar. Memukul apalagi. Namun keseganan saya pada kau sangat besar. Keseganan yang bukan berarti takut. Tak pernah kau tunjukkan mimik tak sedap pada saya dan Mama. Kata Mama, sudah dua puluh delapan tahun kalian bersama, tak sedikitpun kau pernah membuat Mama menangis. Ah, langit, tolong aminkan doa saya agar kelak mendapat lelaki berhati dan berpemahaman lurus seperti Bapak.
Lagi-lagi, saya hanya bisa berujar dari lubuk perasa saya yang paling dalam, saya bangga mempunyai Bapak seperti kau, berjanji akan terus mempersembahkan yang terbaik yang bisa saya lakukan, berjanji tak akan pernah mengecewakan kau barang seatompun. Saya berjanji. Berjanji. Hingga laut. Hingga darah. Hingga langit.
Teruntuk Bapak saya tercinta, Ir. Adrin Sululing, Bapak juara satu seluruh dunia, terimakasih untuk segala kisah yang telah dan akan kau torehkan dalam hidup saya. Saya mencintaimu karena Allah.
Peluk cium dari Ananda,
Reski Puspitasari A. Sululing
Aku menekuri ujung sepatu yang kupakai. Sialnya, sepatu ini kembali melempar ingatanku pada wajah gadis itu. Katanya, dulu, ia pali...