Monday, April 28, 2014

Coretan 22:30

Malam sudah merayap tua. Pun kamu, masih setia membaris kekata. Pejam kataku, kamu lelah, kan? Pejam. Pejam saja.
Tak ada harap di sini. Pun kamu, saya harap tidak ada. Saya terlampau takut kalau kita bertumbuh harap. Kepala saya, berturut-turut hati saya, sudah terpenuhi.

Sunday, April 20, 2014

Bagaimana Kita Mampu Melupakan?

“If you don't know history, then you don't know anything. You are a leaf that doesn't know it is part of a tree. ”  ― Michael Crichton



Handphone saya berderit pelan. Sebuah pesan pendek masuk, dari sahabat saya, Lista, yang menanyakan persiapan saya sudah sejauh mana. Iya, hari ini kami akan berkunjung ke Museum Kota Makassar yang sedang memperingati hari warisan dunia atau istilah kerennya World Heritage Day.

Iya, kamu tunggu saya di depan gerbang kompleks. Begitu kira-kira jawaban saya terhadap pesannya. Pukul lima belas kurang, kami berdua bertemu di gerbang. Setelah bersalaman kemudian cipika-cipiki seraya koprol keliling kompleks, kami kemudian bersiaga menuju tempat penyetopan angkutan umum. Di sinilah kejadian absurd pertama terjadi.

Thursday, April 10, 2014

Izinkan Saya Bertamu di Bola Matamu

Mataku senang sekali saat bertamu di bola matamu
menyibak lebatnya bulu matamu
menembus kilat-kilat di irismu

Ada banyak bahasa di sana
yang bahkan bibirmu tak sanggup mengurainya
biarkan saya untuk sejenak berada di labirin ini
membiarkan mata saya menangkap jawaban atas segala tanya saya

Kelas, 10.56

Wednesday, April 9, 2014

Berlari

Terkadang saya penat berjalan
terlalu sesak di sini
terlalu pengap di sini
terlalu melelahkan di sini
terlalu banyak gadih di sini

Rasanya saya ingin berlari
berlari menjauh
menjauh dari sini
hilang ditelan gelap

Monday, April 7, 2014

Tidak Seharusnya

Saya dan hujan seharusnya tak perlu berlomba
berlomba tentang seberapa hebat rintik kami mencuri perhatianmu
kamu mungkin sedang menatap hujan satu-satu yang jatuh menepuk jendelamu
pun mungkin kamu tengah berharap saya duduk di sebelahmu
berbagi banyak tawa dan cerita
tentang bagaimana klub bola kesayangan kita bertanding tadi malam
tentang suara saya yang selalu sengau ketika minum es kelapa di ujung jalan
tentang sepatu-sepatu raksasa kita
tentang sambal petai pedas buatan saya
tentang sobekan kecil di lengan bajumu
tentang isi ransel hitam di pundak saya
tentang musim bebuahan yang akan datang
tentang seberapa sukanya kamu pada kopi hitam

Tentang banyak hal
tentang banyak hal
tentang banyak hal

Seharusnya saya dan hujan tak perlu berlomba.

13:52, saat rintik di luar berlari perlahan

Wednesday, April 2, 2014

Ketika Musim Penghujan Usai

Musim penghujan sudah usai
saatnya kita membuka tirai lebar-lebar
membiarkan cahaya tajam mentari menyinari rumah kita yang lembab

Musim penghujan sudah berakhir
saatnya kita keluarkan hasil pancingan di atas sisiru
tak lupa menaburinya dengan banyak garam
dimasak gulai enak katamu

Musim penghujan sudah menemui titik penghabisan
kita harus segera bersiap menyambut hangat
berhenti terpekur sebab langit tak lagi berguntur
saatnya kita bangun menatap cahaya
sebab langit sedang bermandikan sinar surya

Di Bawah Langit Selepas Hujan

Ada satu rintik jatuh mencium tanah
diburu ribuan rintik berikutnya
tak ada kata usai
mata kita menyipit terpapar cipratan
senyummu mengembang
tanda kita masih harus menepi berteduh
belum bisa beranjak

Rintik semakin memburu
menjadi deras yang mengeras
saya merapatkan jaket
pun kamu
gemerutuk gigi kita bisa terdengar satu-satu
kamu genggam tangan saya
sambil merapikan letak kacamata di bingkai wajahmu

Kita saling menatap
menukar senyum yang selalu berharga
menoleh ke arah langit yang memerah usai hujan
kamu mengangguk
saatnya kita teruskan perjalanan yang belum selesai
bersiap menjemput banyak rintik di depan
bahkan pula petir atau badai
tapi harapan saya
semoga kita selalu begini
tetap menggenggam tangan kuat satu sama lain
sampai mungkin detik tak mampu berderak lagi

Belum Bersua Titik

Ada begitu banyak rindu yang menghampiri tepi-tepi hati saya belakangan ini. Dan, saya simpulkan penyebabnya selalu kamu, Tuan.

Selalu ada banyak cerita yang belum tuntas antara saya dan juga kamu, Tuan. Banyak. Mengantri panjang mengalahi antrian para pemburu sembako saat hari imlek tiba di kelenteng sana. Saya selalu berharap, semoga di detik berikutnya, saya mampu menceritakan semua kekata ini satu-persatu hingga tandas.

Juni

Aku menekuri ujung sepatu yang kupakai. Sialnya, sepatu ini kembali melempar ingatanku pada wajah gadis itu. Katanya, dulu, ia pali...