Coba kita, saya dan kamu
peluk rintik itu satu-satu
merasai sejuknya ketika merembes di bawah kaki tanpa sepatu milik kita
ada satu dua cerita yang belum tuntas di sini
di saat kamu, Tuan
menghadap timur
temui tuhanmu
dan rapal-rapal doa
Monday, December 23, 2013
Rintik (1)
Wednesday, December 18, 2013
Sajak Gerimis; tentang kita yang tak pernah menemui kata sudah
Terkadang di pelepah rintik aku temui bebayang matamu. Ada satu-satu rindu yang merembes ke sini. Di kepalamu mungkin terlalu banyak lahan kenangan tentang saya. Pun di kepala saya, sila kau tengok kemari.
Ada satu dua hal yang sulit kita mengerti, mengapa Tuhan yang duduk anggun di sana masih membiarkan kita tersakiti dengan jarak. Jarak yang jutaan. Rindu yang tertahan. Lalu banyak cerita yang belum terceritakan. Ada banyak hal yang tidak atau belum kita pahami. Banyak.
19:04 di sela rerintik
Monday, December 16, 2013
Pada Saat Jasadmu Semayam; kutitip ini
Kita bertemu pada detik keberapa saat berselang
saat napasmu temui kidung-kidung rapalku
aku menganga
mengais jutaan partikel yang kau kata dia
Kita bertemu pada rintik tanggal yang entah menyentuh atap bagian mana
saat matamu serta pucuk hidungmu
menyentuh tengkuk tempatku bersemayam
aku terbatuk
terbatuk debu
memantik masa
sama-sama hilang
pada detik yang lupa sembahyang
Entah
kita bertemu atau hanya berujar dengan kata temu
saat terik tandang matahari bernyanyi di atas kepala kita
kau mengecup bauku
lalu berkata dengan melodi perlahan
bahwa kau telah mati di bawah telapak gempalku
Isya, 19:31
Tentang Ihwal Mengapa Saya Berpuisi
Setiap menatap cerobong matamu
selalu saja ada alasan mengapa saya terus berdiri di sini
memaku banyak puisi di dinding rumah yang rapuh
siapa tebak
enam puluh enam tahun kelak
tanpa sebab yang telak
kita lupa banyak
tak ada jejak
Setiap memandangi guratan wajahmu
selalu saja timbul ribuan alasan mengapa saya terus menunggu
walau tergugu
kaki saya tetap tak terganggu
menunggu
terus terpaku dan membeku
masih dengan bergumpal-gumpal puisi di tangan saya
Karena selalu banyak alasan
jika itu tentang kamu
-17:53 selepas kelas yang melelahkan-
Sajak Sederhana; dari perempuanmu, untuk perempuanku
Tujuh Agustus, empat puluh tujuh tahun silam
sejak waktu berderak di situ
kau hadir sebagai anugerah
buat mereka, pun buat saya
doa melejit satu-satu
dari bibir-bibir penuh getar bahagia
melejit ke langit, menggedor arsyNYA
Enam juni, sembilan belas tahun yang dahulu
doa kembali pecah satu-satu
dari bibir-bibir kalap senyum
buatku
yang kau sebut perempuanmu
Aku mendekap hangat
menyapih pada dada putihmu
merasai hangat
meresap kasih
sejak itu aku tahu
sejak itu aku paham
kau, adalah cinta tanpa batas akhir
Mata cokelatmu selalu berkilat-kilat
saat mulai aku tengkurap, merangkak lalu berjalan dengan kedua kaki gempalku
kau tersenyum sekuat doa
Mata cokelatmu kembali berkilat berbinar
saat aku mulai berlarian dengan seragam
merah, biru, abu-abu lalu menjemput toga
kau berseru syukur
sambil melanjut doa yang tak pernah terukur
Bagimu,
aku perempuanmu
kau selalu mengecupi mataku satu-satu
berturut-turut bau suarku
Bagiku,
kau perempuanku
berjanji dari relung hati
berdoa untukmu di sepanjang detik
-enam belas desember pada saat jarum jam terpaku di angka tiga.
(puisi ini sedang diikutkan pada lomba menulis puisi #KBMAward yang diadakan oleh Klub Buku Makassar dan Kak @hujanrintih2 dalam rangka menyambut hari ibu)
Sunday, December 15, 2013
Gerimis Kita
Gerimis membuat aku lupa pada rasa sakit. Sakit pada setiap kalimat yang pernah kau ucap padaku Gerimis menghapusnya telak, seperti menghilangkan jejak sepatu kita pada derak tanah kemarin.
***
Aku menarik napas dalam. Ini hari pernikahanmu. Tentu sekarang kamu tengah tersenyum bahagia dan tersipu menerima ucapan selamat dari para tamu sembari bergelayut manja di tangan lelaki itu, lelaki pilihanmu. Sementara aku? Aku hanya bisa terpekur memandangi gerimis yang jatuh satu-satu dan menepuk kaca jendela kamarku. Aku harus melupaimu dan aku harus bangkit dari segala rasa sakit ini.
Dulu ini sering sekali kau sebut gerimis kita. Gerimis yang menyoal betapa kita akan selalu mencintai sepanjang sisa hidup yang akan kita lalui bersama-sama. Tentang bagaimana repotnya kita nanti saat rumah mungil kita didera musim hujan dan atapnya bocor. Banyak kenangan. Terlalu banyak. Dan itu membuat saya sesak. Tiga tahun bersama, sampai gerimis dua bulan kemarin kau mengucap kalimat itu.
“Maafkan aku, Rei. Kita tidak bisa melanjutkan ini. Terlalu berat. Terlalu banyak keraguan yang menghampiriku akhir-akhir ini menyoal kita. Ada baiknya kita sudahi saja semuanya. Dia, lelaki pilihanku saat ini, telah berhasil menebas segala raguku padamu dengan memilih dia sebagai teman hidupku.”
Kau pergi. Berbalik. Menanggalkan segala cerita tentang gerimis kita.
(Cerita ini tengah diikutkan pada lomba Flash Fiction yang diadakan oleh Klub Buku Makassar)
Saturday, December 14, 2013
Izinkan Saya Menabung Rindu, Tuan!
Hujan masih jatuh satu-satu di atas atap tempat saya berbaring merindu
satu dua gumpal harap masih mengantri sesak di sudut rerintik
saya selalu suka mewarnai matamu dengan krayon warna bata
lalu mengarsir rambutmu dengan gradasi ungu tua
tak lupa, bibirmu dengan warna saga
saga yang menyala
Hujan masih jatuh satu-satu di tempat saya menabung resah
pelan-pelan saya sibakkan tirai malam yang semakin mengeriput
ada empat atau lima tawa jumawa di sana
lalu saya cukupkan
rindu ini tertangkupkan
tepat di menit ke delapan
saat mata saya bercumbu bersama kegelapan
Saya rindu. 14.
Karena Ini Kenangan, Bukan Kekonyolan
Kau ingat kan, saat rok merah kita sobek karena memanjat pagar sekolah?
Bukan, kita bukan bolos. Tapi takut kalau-kalau pantat kita disuntik oleh dokter. Pulang ke rumah, kita dimarahi habis-habisan oleh mamak kita, kita menangis sesenggukan setelah itu mamak lupa terhadap rasa marahnya sambil berlalu ke mesin jahit di ruang tengah untuk membenahi rok-rok itu.
Atau, kau masih ingat tidak saat kita berebut mencungkil buah asam tepat sehabis ashar?
Aku selalu berhasil mencungkil lebih banyak, karena tubuhku jauh lebih tinggi dan kayu yang kupakai jauh lebih panjang. Kau merajuk. Tapi setelah itu tak ada lagi kekesalan, kita duduk di bawah pohon asam bersama-sama menyantap buah asam. Aku selalu ingat bagaimana tampang kita saat buah yang terasa sangat asam masuk ke mulut. Lucu.
Masih ingat juga kan tentang permainan dende, lompat tali, petak umpet dan seseruan lainnya?
Selalu ada keriangan, kadang marah, lalu pulang dengan banjir peluh dan rasa kesal karena merasa dicurangi. Tapi esok di sekolah, kita lupa semuanya dan kembali merencanakan janji untuk bermain lagi di saat sore.
Pun saya juga selalu ingat, semoga kau pun ingat, soal bagaimana kita selalu menumbuk dedaunan dan tanah merah dan berlagak seperti chef.
Haha, sangat lucu. Setelah 'masakan' kita rampung, kita menjajakannya pada teman yang lain, yang dibayar menggunakan uang-uangan daun, lalu kita menyimpannya rapi di dompet-dompet bertuliskan nama toko emas. Setelah dedaunan itu kering, kita membuangnya lalu menggantinya demgan dedaunan baru.
Ada juga yang tak bisa saya lupa, yakni saat kita belajar mengaji di masjid setiap sore.
Kau, aku, kita, saat pelajaran sudah dimulai, selalu bolak-balik di tempat wudhu, alasan kita pada ustadzah karena wudhu kita batal, padahal bukan karena itu, melainkan karena kita ingin bermain air dan saling berciprat-cipratan di sana. Lalu selalu saja kita dipergoki ibu-ibu bermuka masam yang berteriak menyuruh kita kembali ke dalam masjid. Haha.
Sekarang saya, pun kau sudah jatuh dewasa. Tak ada lagi kekonyolan seperti di atas yang saya temui. Bahkan saat bertemu, kau dan teman-teman yang lain telah menjelma menjadi sangat mengesankan. Ketua ikatan badan mahasiswa inilah, koordinator divisi itulah, pemimpin redaksi harian kampus anulah. Wah, saya tidak pernah menyangka bahwa teman sepermainan kecil saya akan berubah menjadi semengesankan ini. Tak ada yang lebih indah selain bernostalgia kan katamu? Semoga besok-besok kita bisa berkumpul di satu lapangan lepas, sambil bermain dende lagi, Teman.
Ketika deru hujan masih setia menguarkan kenangan.
15:58
Thursday, December 12, 2013
Lupa Bukan Berati Tidak, kan?
Saya terkadang lupa merapal kekata bahwa betapa saya cinta akan kamu, Tuan. Tapi sungguh, itu bukan berarti di hati saya, di sini, luput sedikit pun pinta saya untuk selalu bersama.
Bromo di Musim Lalu
Pagi ini awan masih malu-malu menjalar di pergelangan langit. Aku masih terdiam memandangi haru deru udara pagi. Bunga edelweis di tanganku yang seperti kaku berdesir.
Itu dua tahun yang lalu. Kisah lama yang akan kusimpan rapi dalam teropong hidup paling dalam. Aku memandangi jari-jariku yang memutih. Udara pagi di Bromo sangat dingin. Aku tak bisa menolak rayuan keindahan matahari terbit dari sini, pun walau sebenarnya ada kisah pilu yang kusimpan dalam saat pucuk-pucuk embun menyentuh tanah basah Bromo, dua tahun silam.
Dingin semakin menusuk, aku putuskan untuk mempercepat langkah menuju ke arah puncak. Saat di mobil van tadi kakiku sudah terasa kram, udara subuh sejak di kaki gunung tadi memang sudah semakin memuncak. Aku putuskan untuk kembali merapatkan tanganku di antara kepitan ketiak. Dan ini sangat tidak membantu.
Lima belas menit kemudian mobil van merapat ke gerbang. Aku putuskan untuk melompat menuju warung kopi yang sudah ramai pengunjung walau sepagi ini. Memesan segelas kopi dengan uap mengepul sepertinya bukan ide yang buruk.
“Mang, ndak dingin? Itu ada sarung tangan yang disewakan. Murah mang hanya lima ribu rupiah.” Mamang penjual kopi menawarkanku halus. Aku menggeleng sopan sambil tersenyum lalu. Aku tidak butuh. Aku ingin melawan rasa dingin di atas sana, sembari melawan ngilu di hatiku, sisa kesakitan dua tahun lalu.
Aku berjalan memasuki gerbang. Tanganku kebas melawan dingin. Gigiku bergemeretuk menandakan hawa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuh. Aku menatap kawanan kuda yang bergerombol di salah satu sudut, para penjaja kuda tersebut mulai menawarkan ke para pengunjung untuk disewakan. Aku menggerung dalam, berjalan menuju puncak seorang diri. Masih dengan hati yang ngilu. Mungkin sejak tadi kalian bertanya ada apa denganku. Ada apa dengan dua tahun yang lalu.
Sebenarnya ini cerita lama. Luka lama. Tapi waktu belum berbaik hati untuk menyembuhkan nganga sakit di relung. Mungkin belum saatnya. Dan hari ini aku memutuskan untuk mengobati luka itu sambil menatap kabut putih di puncak Bromo. Aku duduk bersimpuh di salah satu batu. Di tempat ini, dua tahun yang lalu, aku menyaksikan dengan mata kepalaku bagaimana dia mengangguk mantap sambil bergumam iya pada laki-laki itu, sahabatku sendiri. Aku mengingat betul bagaiman napasku menjadi kaku satu-satu saat melihat sorot matanya. Dia memberikan senyum termanisnya pada laki-laki itu, tanpa berpaling sejenak pun pada rentetan kabut Bromo di pagi hari. Ada yang salah. Aku meremas bunga edelweiss ungu yang tadinya akan kuberikan pada dia pagi ini. Habis. Tak ada lagi kesempatan sedikitpun. Mungkin aku terlambat. Atau waktu masih belum berbaik hati untuk membuat hatiku bersatu. Aku mungkin terlalu sulit untuk berdamai dengan rasa takutku, takut bila aku mengutarakan rasa ini, dia akan memutuskan rasa persahabatan yang telah lama kami bangun. Tepat saat hari pelulusan, aku mengajaknya mengunjungi Bromo. Ia mengangguk mantap, ia selalu menyukai embun dan kabut. Selalu. Aku akan mengutarakan rasa sayangku padanya, tepat saat embun datang kabut datang menyapu permukaan Bromo. Tapi semua hancur berkeping-keping saat temanku, Samudera, ikut menemani kami ke Bromo. Aku tak tahu tentang perasaannya pada perempuanku, sama sekali tak tahu. Saat kabut tipis mulai nampak dari puncak, kuputuskan membeli edelweiss ungu kesukaannya, sekaligus mengutarakan rasa sayangku untuk kemudian memintanya menjadi teman hidupku. Tapi saat aku tinggal beberapa langkah lagi,potongan percakapan penting mereka, tertangkap oleh indera pendengarku. Dia, perempuanku, menerima pinangan Samudera. Tanpa sebersit ragu sedikit pun dari sorot matanya. Aku tergugu, edelweiss ungu di tanganku remuk. Mahkota kecilnya satu-satu berguguran. Mataku pedas. Aku rasanya akan menangis. Kukuatkan hati untuk masuk dalam percakapan yang langsung mereka alihkan. Namun sungguh, tatapan mata bahagia milik mereka tak bisa disembunyikan. Mereka bahagia di atas ngilu hatiku. Tapi tidak, mereka tidak salah, mereka tidak mengetahui segala apa yang ada dalam hatiku. Betapa pagi itu, dua tahun yang lalu, adalah pagi penuh sembilu ngilu buatku.
Kemudian pagi ini, aku ingin menghapus segala ngilu dan sesak itu. Aku harus berdamai dengan masa lalu, sesakit apapun itu. Aku menatap kabut yang mulai menghilang terusir cahaya matahari yang mulai menelisik. Udara dingin belum sempurna pergi. Aku masih menahan gigil. Terlebih gigil di hatiku. Tuhan, sesulit inikah berdamai dengan masa lalu itu?
Aku menatap nanar batu yang sedang kududuki. Terdiam lama. Tidak, aku tidak harus begini terus. Mereka berdua telah menikah dan dikaruniai seorang puteri yang begitu lucu –mereka mengirimkan foto puteri mereka lewat jejaring sosial-. Mereka sahabatku, itu berarti aku harus turut berbahagia atas kebahagiaan mereka. Tapi akukah seorang sahabat itu? Yang lari sejak kejadian itu, tidak menghadiri perhelatan pernikahan mereka, tidak menjawab telepon ataupun sms serta email yang mereka kirimkan. Pun saat puteri mereka lahir, aku masih enggan untuk menunjukkan batang hidungku di hadapan mereka berdua. Mereka selalu mencoba datang ke rumahku, itu kata pembantuku. Tapi tentu saja hasilnya nihil, aku sedang berada jauh di Pulau Papua, mengabdikan diriku sepenuhnya menjadi tenaga pengajar di daerah perbatasan tersebut. Jauh dari hingar bingar dan penuh ketenangan.
Aku harus. Aku harus berdamai dengan segala rasa sakit ini. Kutatap seikat bunga edelweiss yang kubawa daritadi. Bunga ungu itu kembali kaku. Mungkin, perempuan itu sama dengan bunga ini, akan terus hidup di mana saja, namun pasti perasaannya akan berbeda ketika dia berada di tempat yang sesungguhnya. Mungkin aku memang bukan orang yang tepat untuk dia. Mungkin memang Samudera adalah yang terbaik untuk segala sisa hidupnya. Aku mengangguk dalam. Sudah saatnya aku menyudahi segala keterpurukan dua tahun ini. Cukup. Semua sudah cukup.
Aku tersenyum. Tersenyum lega. Aku segera bangkit, meninggalkan seikat bunga edelweiss di batu itu. Biarkan. Biarkan segala rasa pahit itu beralu. Rasanya, saat ini waktu sudah berbaik hati padaku. Aku harus bangkit. Aku harus bisa menyelesaikan ini. Kuputuskan berjalan turun menuju gerbang. Perempuan berkerudung biru tersenyum menyambutku.
“Sudah selesai berdamai dengan masa lalunya, Mas?” Perempuan berlesung pipi itu menggengam tanganku. Tangannya hangat. Pun senyumnya. Terlebih sorot mata serta kesabarannya atas menemaniku melewati hari-hari sulitku.
Dia adalah Nisa. Perempuan yang kutemui saat menjadi guru di daerah perbatasan. Dia seprofesi denganku. Setahun di sana, dia berhasil membuatku melupakan separuh rasa pahit dan kembali membuka hati, dan di tahun kedua, aku memutuskan memintanya menjadi teman hidupku dengan menceritakan segala kepahitan masa laluku. Aku memang kejam dengan ini semua, tapi sungguh, aku mencintai Nisa, dengan rasa cinta yang baru dan lebih besar. Dan saat kami mendapatkan jatah liburan, Nisa mengusulkan aku ke tempat ini –tempat yang paling tidak ingin kukunjungi- untuk mengobati masa laluku, dan dia berhasil telak.
Kutatap perempuanku, Nisa. Dia sungguh perempuan yang hebat. Kugenggam tangannya untuk menghangatkan tanganku, serta gigil di hatiku. Semua sudah selesai. Aku sudah sembuh sempurna dari rasa sakit. Nisa, adalah perempuanku satu-satunya di hidup ini.
“Jadi setelah ini kita jadi kan ke rumah Samudera dan Sarah, Mas?” Nisa bertanya lembut sambil menatap mataku. Aku mengangguk pelan namun mantap.
“Iya, Sayang. Aku mencintaimu.”
Kampus, 8:45 saat dosen tak satupun yang masuk.
Wednesday, December 11, 2013
Coretan
Apa kabar kamu?
Mungkin saat ini kamu tengah memaksa waktu untuk mengobati luka beberapa lembar tahun lalu. Mungkin. Saya berharap kamu baik-baik saja.
Tuesday, December 10, 2013
Mamak
Cahaya luruh satu-satu di matamu
lalu dian sempurna lahir dari tutur bijakmu
Mamak...
ananda rindu peluk hangatmu
ananda rindu kecup kasihmu
ananda jauh
ananda tak bisa melempar sauh
ananda tak ada daya untuk temu
Mamak...
ananda ingin bersandar di pelukmu
ingin merasai debar degupmu
seperti ketika ananda masih menyusu dulu
Mamak...
ananda hanya bisa menatap pigura
ananda hanya mampu mendengar suara dari telepon tanpa kabel
ananda hanya bisa melebur doa untuk ditembuskan ke langit
semoga dikau, Mamak
dan lelaki tercintamu, bapak
bisa ananda bahagiakan hingga ke surga
17.59 saat kepala berdentum menderu-deru.
Terkadang Kita Lupa
Terkadang kita lupa bahwa betapa setiap detik detak jantung kita akan dimintai pertanggungjawaban
Pun terkadang kita lupa bahwa setiap hela uap napas kita akan dituntut penjelasan
Lalu berturut-turut alpa dari ingatan kita bahwa segala derak dari sendi kita akan berbicara di hari pembalasan kelak
Entah. Kita lupa. Atau memang kita tidak mau mengingatnya.
Kelas sintax., 09.58. Saat hujan masih bergelantungan di kaki langit.
Rintik Pagi yang Selalu Kau Rindu
Subuh menggeliat. Satu-dua suara dari menara masjid mulai bersahutan membangunkan kaum yang masih terhimpit hangatnya selimut. Ah, hujan masih setia merundung kota kami hingga pagi ini. Kembang sepatu di beranda rumah basah kuyup bahagia. Saya merenung. Betapa saya merindukan tujuh tahun silam. Saat hujan dan saya bersiap dengan seragam putih biru saya, kau mendecak dalam dan siap mengantar saya menunggu angkot dengan payung besar tiga warnamu. Tak lupa sebelum itu kau menyeduhkan saya secangkir teh di gelas bergradasi krem. Berturut-turut kau rapikan sisiran rambut serta dasi biru panjang milik saya. Pun melihatmu mensejajarkan kartu-kartu patui yang kau sebut pulos di dekat jendela membuat saya mafhum, kau cinta pada hujan. Teramat.
Mak tua, ini sudah tahun keberapa kau tak menyaksikan hujan di kota kami? Sudah berapa lama? Apa di sana hujannya jauh lebih indah dari kota kami? Di menit ke sepuluh saat ini, sungguh saya rindu. Saya merindui bau dastermu yang terpapar uap setrika bara yang beraroma khas. Pun saya rindu bunyi kunci almari yang kau simpan di saku dastermu saat kau berjalan. Saya rindu tatap mata teduhmu ketika lagi-lagi saya menjadi juara kelas. Dan yang paling saya rindukan adalah ketika hujan datang, kau setia menatap ketukan rintik yang mengenai kaca jendelamu.
06.12. Hujan. Rindu almarhumah R. Sululing, mamak tua terbaik dalam hidup saya.
Monday, December 9, 2013
Hujan Silam, Hujan Dewasa
Hujan selalu berbisik
tentang kenangan-kenangan
tentang janji-janji masa depan
pun tentang keresahan
Kita selalu menari
dahulu di bawah tempias hujan
menjulurkan jari-jari kita di bawah atap mamak
kemudian berlarian pulang disebab dingin yang menyergap
lalu segelas teh hangat siap di bawah tudung saji
kemudian kita mengeluh tentang jari-jari yang mengerut atau bibir yang gemetaran
disusul tentang cerita keong lambat yang berhasil kita tangkap dan pindahkan dari rinai deras
Semenit dua menit kita menguap satu-satu
berlarian mengepung diri di atas seprai hangat berbau daster mamak
saya bercerita banyak
kau mengangguk sambil menyisiri rambut saya dengan jemari kekarmu
lalu mamak datang menggelitiki kaki kita satu persatu
Wahai, Bapak
hujan dewasa ini tak lagi ceria seperti hujanku silam
ada banyak derap beban di setiap rintihnya
tak ada lagi mandi di bawah deras hujan
tak ada lagi teh manis yang mengepul
tak hadir lagi gulatan canda di seprai biru tua milik kita bertiga
hanya mendengar suara kalian, bapak mamak
dari sebuah benda kotak hitam tanpa lilitan kabel
ditemani rinai tetes hujan
saya jauh
ribuan kilometer
mendekap rindu yang bersesakan
adakah pulang nanti bisa kita bermain hujan lagi, Bapak?
16.49 ketika Makassar diderap hujan dan tugas semakin mencekam menyentuh deadline
Ini Pertemuan, Kan?
Percakapan yang sudah susah payah saya rangkai seperti membeku
saya menatap matamu
dalam
seperti ada luka di balik retinamu
karena saya kah itu?
kepalamu menggeleng sekuat yang kau mampu
seperti ada bangkai kekecewaan di dalam batok kepalamu
Kita ini temu
bukan pisah
bukan pula prasa kecewa
tapi apa arti luka di balik irismu?
tolong berikan pemahaman panjang ke saya
kau berkata lembut, "penjelasan tak selalu ada di awal"
saya takzim
menatap buku-buku jari yang memutih
sesal kemudian menjadi sesak di dada saya
apa yang salah?
bukankah kau masih senang menatap kepangan rambut saya?
bukankah kau masih betah menatap gigi-gigi kelinci saya saat saya tertawa?
Saya tidak bertemu jawaban di sorot mata pekatmu
hanya tanda tanya besar yang menggantung di kirana parasmu
saya berbalik
maaf terukir jelas di punggung saya
kau dapat membacanya, kan?
Sunday, December 8, 2013
Temu Kembali
Kita seperti sedang berjalan menuju titik yang sama. Setelah pena saya seperti mengeriput. Setelah peluh saya bagai mati rasa. Kita seperti diizinkan kembali untuk menjahit kenangan-kenangan usang yang sudah lama tak ditengok di laci waktu. Hati-hati kita hampa. Tak terisi udara. Pun sesak seperti enggan mengisi ruang. Saya selalu menyisipkan jejak untuk kau temukan. Entah itu bisikan, ranting-ranting patah, atau remah roti. Semoga kau (kelak) cepat ke sini, di hati ini, Tuan.
Juni
Aku menekuri ujung sepatu yang kupakai. Sialnya, sepatu ini kembali melempar ingatanku pada wajah gadis itu. Katanya, dulu, ia pali...
-
Yuhuuuu, jadi ini adalah satu label baru di blog saya, yang saya namai #RabuReview. Jadi, setiap hari Rabu, saya akan memosting satu ha...
-
Blogpost hari ini, saya mau bahas soal drama Korea yang tayang di TvN. Sebenarnya, saya sudah punya DVD drama ini sejak jaman dahulu k...